Jumat, 30 Desember 2011

Ketika Remaja

Menjadi remaja tidaklah mudah. Rasanya ada sejuta pikiran, gagasan dan emosi menderas lewat di dalam tubuh kita setiap detiknya dan semuanya itu bergerak begitu cepat, sehingga mustahil meraihnya dan mencoba memahaminya, apalagi mengeluarkannya.
Kalaupun berhasil meletupkan satu pikiran, atau menarik kesimpulan tentang salah satu gagagsan itu, tidak ada yang mendengarkan. Kita masih remaja. Kita tinggal di dunia yang oleh kakakku disebut: "Sisi Gelap". Lagi pula, apa sih yang kamu ketahui???

Itu sebabnya, sebagai remaja kita sering kali merasa seolah-olah ditinggalkan sendirian. Tidak ada yang mau mendengarkan; tidak ada yang memahami kita; kita bahkan tidak memahami diri kita sendiri.



Kalaupun sering tidak yakin dengan apa yang mesti kita dikatakan atau dipikirkan, kita tetap harus mengeluarkan perasaan-perasaan kita dan bagi banyak dari antara kita, satu-satunya jalan untuk melakukannya dengan "menulis".
Kita mulai menceritakan masalah dan rahasia kita pada buku harian, menulis cerita-cerita tentang diri kita, dan tokoh-tokoh utamanya kita bisa namakan Bieber, bukan Biatok, kita mencoba mengekspresikan diri melalui puisi dan musik.

Tetapi itu pun tidak semudah kedengarannya.
Menulis memang bukan hal mudah. Maksudku, semua kenangannya sudah ada di kepala kita, tetapi mengeluarkannya, menemukan kata-kata untuk menyampaikannya dan menuliskannya supaya mengekspresikan setepatnya gambaran yang ada di dalam kepala kita kelihatannya jauh lebih sulit.
Benar?

"Aku ingat pernah duduk di bawah pohon ini," demikian kau memulai, "pohon rindang ini," "di bawah pohon yang daun-daunnya tertiup angin," "angin sejuk," "angin berhembus kencang"? Kamu menghela napas dan melempar bolpoinmu.
Kamu sudah tahu apa yang ingin kau sampaikan. Lalu, ada apa dengan bolpoinmu?

~to be continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar